Setelah libur akhir tahun lalu, para peserta didik mulai belajar kembali di semester genap, pada awal Januari 2022. Pada umumnya, lembaga pendidikan di Jabodetabek “mewajibkan” mereka masuk kelas, belajar dengan tatap muka atau menerapkan model pembelajaran tatap muka (PTM), tidak lagi daring (dalam jaringan).
Kebijakan ini tentu ada plus dan minusnya. Bagi peserta didik baru yang belum pernah masuk sekolah (madrasah) sejak Covid-19 mewabah, PTM menjadi salah satu bentuk sosialisasi diri dan pengenalan almamaternya. Geliat dan roda ekonomi menjadi lebih dinamis, seiring dengan perputaran finansial dari kehadiran mereka di sekolah. Itulah beberapa nilai plus dari PTM. Masyarakat di sekitar sekolah merasakan pertumbuhan ekonomi dari kelesuannya yang berlangsung sekitar dua tahun terakhir.
Kelemahan PTM juga tidak sedikit. Pengurangan atau pemadatan jam belajar di sekolah boleh jadi menurunkan tingkat ketuntasan materi pembelajaran. Kepadatan lalu lintas akibat antar-jemput peserta didik juga mulai berdampak kepada kemacetan lalu lintas di berbagai wilayah. Dan yang paling dikhawatirkan orang tua adalah keselamatan anak-anak mereka dari terpapar virus corona (Covid-19) yang belum sepenuhnya mereda. Pada saat yang sama, karena sudah jenuh dan lelah berada di rumah, sebagian warga masyarakat mulai kurang disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Kekhawatiran tersebut ternyata terbukti, sekurang-kurangnya di madrasah tempat dua anak saya belajar, yaitu MAN 4 dan MTsN 3 Pondok Pinang. Pada pekan ketiga mereka PTM, ternyata ada seorang peserta didik yang terpapar positif Covid-19, masing-masing di MAN 4 dan MTsN 3, sehingga mereka “diwajibkan” belajar di rumah secara daring lagi. Untuk sementara, sambil menunggu perkembangan, mereka tidak diizinkan masuk kelas sampai batas waktu yang belum ditentukan. Orang tua “dibuat” was-was, karena keamanan dan keselamatan anak-anak mereka terancam. Anak dan orang tua juga dihantui corona varian baru, yaitu omicron, yang konon lebih mudah dan lebih cepat menular, meski tidak seberbahaya varian delta.
Tulisan ini berupaya menganalis dan menakar tensi keselamatan dan kebutuhan PTM, dengan tujuan memberikn solusi strategis dalam penyelenggarakan proses pembelajaran yang efektif, substantif, dan inovatif di masa pandemi. Bagaimana memberi jaminan keamanan dan keselamatan peserta didik dalam mengikuti PTM, agar orang merasa tenang dan nyaman dalam “menyekolahkan” kembali putra-putrinya? Bagaimana pula perspektif Islam dalam mengelola model PTM dan pembelajaran daring agar mereka tidak dirugikan?
Refleksi atas Pandemi
Sejak terjadinya Covid-19 pada akhir 2019 di Wuhan Cina, dunia dihadapkan pada situasi darurat. Covid-19 “memaksa” terjadinya perubahan dalam banyak hal, seperti: cara beribadah, model belajar, gaya hidup, metode kerja, cara berbelanja, dan sebagainya. Sejatinya, pandemi covid-19 merupakan ujian dari Allah SWT, untuk menguji keimanan, kesabaran, dan kearifan kita dalam menyikapi dan mencarikan solusinya. Covid-19 itu membawa “pesan langit” bahwa umat manusia selama ini boleh jadi telah melampaui batas kewajaran dan kenormalan, seperti: merusak ekosistem, mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak halal dan tidak thayyib (tidak baik untuk kesehatan), serakah dalam mengeksploitasi sumber daya alam, sangat korup, dan menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan, kesenangan, dan kenikmatan duniawi.
Covid-19 menyadarkan warga dunia untuk belajar arif dan bijaksana. Mewabahnya covid-19 yang tidak kasat mata idealnya membuat “mata batin” setiap orang mengakui bahwa Tuhan itu memang ada. Manusia tidak berhak menyombongkan diri dengan kekuasaan dan kehebatannya, karena Allah-lah yang Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Segala-galanya. Covid-19 harus menjadi pembelajaran bersama bahwa jalan keselamatan dan kebahagiaan hidup adalah jalan pendakian spiritual dengan pendekatan diri kepada Allah SWT dengan memperbanyak istighfar (memohon ampun), bertobat (kembali ke jalan yang benar), memohon perlindungan (istighatsah, iltija’), semakin beriman dan bertakwa kepada-Nya.
Melalui covid-19, kesadaran batin umat manusia disentuh bahwa sistem ajaran Tuhan itu harus dijalankan dalam kehidupan, bukan diingkari, didustakan, dan dilanggar. Nikmat-nikmat yang selama ini diberikan oleh-Nya harus disyukuri, dengan selalu mengingat-Nya (dzikir), berpikir positif kepada-Nya, memikirkan dan menebarkan kebaikan dan kasih sayang (rahmat) bagi semua.
Belajar arif dalam menyikapi dan menghadapi wabah corona mengharuskan kita semua kembali mengevaluasi diri, khususnya evaluasi kadar keimanan, keilmuan, dan kesalehan kita. Apabila akidah tauhid kita sudah kuat dan mantap, tidak melakukan penyekutuan (syirik) dengan melakukan sesaji, sedekah bumi, sedekah laut, ritual sesat lainnya, niscaya wabah corona membuat kita semakin insaf, takut (akan azab dunia dan akhirat), dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pandemi Covid-19 penting dimaknai sebagai alarm ilahiyyah agar kita semakin tunduk, patuh, takwa, dan tawakkal hanya kepada-Nya.
Evaluasi keilmuan menyadarkan betapa kasus covid-19 mengharuskan para pakar di bidangnya perlu melakukan riset dan pengembangan ilmu kedokteran dan kesehatan untuk dapat menemukan vaksin atau obat penyembuhkan virus itu. Rumah-rumah sakit didesainkan untuk dapat memberikan layanan terbaik dalam rangka isolasi dan penyembuhan penyakit mematikan itu. Para dokter, perawat, dan relawan kemanusiaan diserukan untuk bersinergi dalam berjihad melayani pasien corona.
Sedangkan evaluasi kesalehan meniscayakan pentingnya setiap orang meningkatkan amal-amal shalih yang dapat memberi nilai manfaat dan maslahat bagi orang lain.
Dengan refleksi, introspeksi diri, dan evaluasi multidimensi tersebut, boleh jadi sebagian warga dunia ini berjalan di muka bumi Allah dengan sombong, congkak, arogan, serakah, korup, pembohong, zhalim, pendusta dan penista agama.
Refleksi atas pandemi tersebut pada akhirnya menyadarkan kita semua bahwa banyak hikmah ruhiyyah yang harus dipetik dan dijadikan pelajaran dalam menatap masa depan baru di era pascacovid (era kenormalan baru, new normal).
PJJ vs PTM
Selama masa pandemi, pada umumnya proses pembelajaran di madrasah dan sekolah menggunakan model pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah (BDR). BDR menuntut piranti atau media pembelajaran berbasis ICT (Information and Communcation Technology), seperti HP atau laptop yang support dengan aplikasi zoom, google meet, dan sebagainya. Jam belajar peserta didik banyak dihabiskan di depan layar HP atau laptop. Interaksi antara pendidik dan peserta didik melalui media atau platform sinkronus kurang mampu menghadirkan suasana kelas yang dinamis dan humanis.
Berdasarkan hasil pengamatan langsung dan terlibat yang penulis lakukan terhadap anak-anak yang melakukan BDR, dapat ditegaskan bahwa proses PJJ atau BDR cenderung kurang efektif. Banyak hal yang hilang dalam proses PJJ. Sentuhan kasih sayang pendidik, interaksi pembelajaran yang bersifat dua arah, ketuntasan pemerolehan dan pencapaian materi esensial, suasana keakraban sesama peserta didik dan pendidikan cenderung tidak terbangun. Belajar dari pengalaman dan membangun pengetahuan (konstruktivisme) peserta didik tidak menjadi model dan budaya belajar yang positif.
Dalam beberapa kasus, peserta didik yang menjalani BDR cenderung “mengandalkan” orang tua, terutama ketika dihadapkan pekerjaan rumah (PR), tugas-tugas lainnya, seperti: membuat video hafalan, praktik shalat, membaca Alquran, dan sebagainya. Artinya, kemandirian peserta didik selama BDR cenderung mengalami kemunduran. Pada saat yang sama, peserta didik seolah “menuntut” orang tua menguasai mayoritas mata pelajaran yang dibelajarkan secara daring, karena PJJ cenderung tidak tuntas dan tidak semua dipahami atau dikuasai dengan baik oleh mereka. Dengan kata lain, PJJ menuntut partisipasi orang tua lebih intens dalam proses pembelajaran anak.
Selain itu, karena keterbatasan kemampuan peserta didik di depan layar laptop atau HP dan karena pertimbangan kuota data untuk akses internet, maka PJJ atau BDR pun dibatasi waktunya, bahkan dipangkas menjadi sekitar 50% dari jadwal normal. Jika dalam pembelajaran tatap muka (PTM) peserta didik belajar hingga pukul 14.00, maka PJJ hanya berlangsung sampai pukul 10.30 atau 11.00 WIB. Pengurangan durasi waktu belajar ini tentu berimplikasi kepada penurunan ketuntasan dan efektivitas pembelajaran itu sendiri.
Kejenuhan belajar di depan laptop atau HP juga kerap membuat peserta didik cepat menurun daya konsentrasinya, sehingga tidak jarang berbagai tugas dari guru kepada peserta didik diinstruksikan melalui grup WA orang tua dengan walikelas atau grup WA kelas tertentu.
Tidak dapat dimungkiri, bahwa PJJ juga berkontribusi signifikan terhadap “kecanduan” peserta didik terhadap game (permainan). Terkadang anak berada di depan laptop mengikuti PPJ, tetapi tangan kanannya memegang HP dan bermain. “Belajar sambil bermain” atau “bermain sambil belajar” kerap dipraktikkan peserta didik, terutama setelah peserta didik itu mendapatkan giliran membaca Alquran atau menjawab pertanyaan dari tenaga pendidik. Adapun sisi positif dari PJJ adalah bahwa literasi digital peserta didik cenderung meningkat. Keterampilan memanfaatkan berbagai sumber belajar dari akses internet semakin lincah; meskipun minat membaca buku cenderung menurun.
Beberapa hasil penelitian, seperti penelitian Ali Sadikin dan Afreni Hamidah (2020), Pembelajaran Daring di Tengah Wabah Covid-19, menunjukkan bahwa dibandingkan pembelajaran konvensional di kelas (PTM) PJJ lebih fleksibel dan dapat mengurangi kerumunan, social distancing, dan memutus mata rantai penularan covid-19. Hanya saja, tidak semua akses internet untuk PPJ mendukung, sejumlah wilayah terkadang mengalami gangguan sinyal (sinyal buruk). Selain itu, dalam mengerjakan soal-soal ulangan, peserta didik lebih sering “berkonsultasi” kepada google daripada membaca buku pelajaran, karena informasi yang diakses dari google lebih cepat, mudah, dan praktis, daripada buku pelajaran.
Seiring dengan semakin menurunnya kasus penularan covid-19, PTM digulirkan. Mula-mula, PTM dijalankan secara bergiliran dengan jumlah peserta didik setiap kelas dipangkas menjadi 50%. Setiap peserta didik mendapat giliran masuk kelas sekali dalam sepekan. Kemudian, sejak awal Januari lalu, PTM dilakukan serentak dan semua warga kelas masuk 100%. Menurut penuturan anak-anak saya, peserta didik merasa senang bisa bertemu dengan guru dan teman-teman mereka secara langsung. Mereka berbahagia bisa belajar langsung dengan guru dan teman-teman sekelasnya. Mereka juga merasa bergembira karena setiap hari memperoleh “jatah uang sangu” pergi ke sekolah.
PTM mengobatai kerinduan peserta didik dengan almamater, lingkungan sekolah, para pendidik, dan teman-teman sekelas atau seangkatannya. PTM memungkinkan komunikasi pembelajaran berlangsung lebih interaktif, kolaboratif, autentik, dan menyenangkan. Keceriaan mereka dapat bertatap muka dengan guru dan teman sekelas merupakan indikasi positif bahwa mereka selama ini merasa kurang puas dengan PJJ. PTM menjadikan proses interaksi pembelajaran lebih bermakna dan dirasakan sebagai pemenuhan rasa ingin tahu (curiosity) dan mengerti substansi pelajaran secara lebih efektif.
Melalui PTM, mereka belajar dengan pendekatan saintifik yang lebih autentik: belajar mengamati, belajar bertanya, berdiskusi, berkomunikasi, berkolaborasi, dan berkreasi. Dari PTM, mereka menyadari pentingnya belajar bersama dalam suasana yang saling take and give.
Dengan PTM, peserta didik mulai diperkenalkan: disiplin waktu, disiplin masuk kelas, disiplin belajar, disiplin beribadah, dan disiplin beristirahat. Tanpa PTM, menjadi tidak mudah pemberlakuan hidden curriculum sebelum jam belajar secara formal dimulai. Padahal, melalui PTM, program pembiasaan, peneladanan, dan pembudayaan karakter positif, akhlak mulia, dan kepribadian yang baik dikembangkan. Dengan kata lain, PTM sejatinya sangat dibutuhkan peserta didik untuk dapat mewudjukan tujuan pembelajaran secara komprehensif dan autentik, baik aspek kognitif, afektif, psikomotorik, maupun mental spiritual.
Pembelajaran Hybrid
Selama pandemi belum sirna, bahkan ada prediksi (atau ditakut-takuti) Covid varian baru omicron akan memuncak pada beberapa bulan ke depan, maka model pembelajaran perlu dipadukan antara PTM dan PJJ. Solusi konkretnya berupa penerapan model pembelajaran hybrid atau blended learning. Pembelajaran hybrid merupakan metode atau model pembelajaran yang menggabungkan atau mengkombinasikan antara pembelajaran daring (PJJ, BDR) dengan pembelajaran tatap muka (PTM). Hal ini berarti bahwa dalam pelaksanaannya, peserta didik dan tenaga pendidik ada kalanya bertatap muka langsung di kelas dan ada kalanya mereka belajar dari atau di rumah secara daring.
Sebagai solusi strategis, pembelajaran hybrid atau blended learning perlu dikelola dengan manajemen pembelajaran yang efektif. Institusi pendidikan perlu mengembangkan Learning Management System (sistem manajemen pembelajaran) yang dapat memfasilitasi peserta didik belajar dan mengakses sumber belajar secara mudah, nyaman, dan menyenangkan. Perpaduan PJJ dan PTM perlu dijadwal sedemikian rupa, sehingga peserta didik mendapat kesempatan belajar di kelas dan di rumah secara proporsional, dengan tetap memperhatian keamanan dan keselamatan jiwa dari potensi terpapar covid.
Dalam konteks ini, Islam memandang penting implementasi maqâshid asy-syarî’ah (tujuan pembumian syariah) yang telah dirumuskan para ahli ushul fiqh seperti al-Ghazali dan asy-Syatibi dalam proses pembelajaran. Salah satu poin maqâshid itu adalah hifzh an-nafs (menjaga jiwa), dalam arti menjaga keselamatan dan keamanan peserta didik, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, karena Islam tidak membenarkan umatnya “menjerumuskan” diri dalam kebinasaan (kecelakaan, kesengsaraan, terpapar virus, terkena penyakit, dan sebagainya) (QS al-Baqarah/2:195). Regulasi dan fasilitasi institusi pendidikan dalam menjaga keselamatan peserta didik menjadi sangat penting dengan tetap memberlakukan protokol kesehatan secara disiplin positif.
Situasi dilematis antara PJJ dan PTM memang sedang dihadapi pimpinan lembaga pendidikan. Agar layanan pendidikan tetap diperoleh peserta didik dan agar tujuan dan target pembelajaran tercapai, maka prinsip dan kaidah fikih: “dar’u al-mafâsid muqaddamun ‘ala jalb al-mashâlih” (menolak, menghindari, dan menjauhkan kerusakan/ketidakselamatan itu harus diprioritaskan daripada menggapai kemaslahatan) harus diberlakukan dalam memfasilitasi dan memenuhi hak-hak dasar dan kebutuhan peserta didik. Ada baiknya, pelaksanaan blended learning dibuat selang-seling: tiga hari PJJ dan dua hari PTM atau sebaliknya, tergantung pada situasi dan kondisi madrasah dan sekolah. Prinsip tersebut diperkuat hadis Nabi SAW: “Tidak boleh melakukan perbuatan yang bisa membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah, No 2340 dan 2341).
Oleh karena jam belajar dikurangi, maka solusinya adalah bahwa pembelajaran hybrid harus dipersiapkan oleh tenaga pendidik dengan baik dan dengan sentuhan teknologi. Misalnya saja, tenaga pendidik perlu diberi pelatihan dan kemahiran menyiapkan bahan ajar esensial yang bersifat digital, dalam bentuk video pembelajaran, sehingga lebih praktis dan efektif, di samping perlu pengayaan materi secara langsung dari pendidik, baik melalui daring maupun luring (luar jaringan).
Dalam konteks ini, prinsip dan kaidah yang harus dipedomani adalah “mâ lâ yudraku kullu lâ yutraku julluh” (apa yang tidak dapat dicapai seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan atau diabaikan semuanya). Artinya, proses PTM dan PJJ harus menampilkan materi esensial yang sesuatu dengan tujuan dan target capaian pembelajaran (learning outcome).
Pertimbangan keselamatan warga madrasah atau sekolah (peserta didik, tenaga pendidik, dan tenaga kependidikan) dalam penyelenggaraan proses pembelajaran memang harus menjadi prioritas. Akan tetapi, layanan pendidikan dan pembelajaran juga harus tetap berjalan karena hak-hak dan kebutuhan pembelajaran peserta didik harus dipenuhi. Pandemi tidak boleh menjadi alasan peniadaan layanan pendidikan. Dilema antara keselamatan dan kebutuhan peserta didik harus diatasi dengan penerapan blended learning yang tetap menarik, menyenangkan, dan inovatif.
Situasi pandemi yang belum dapat dipastikan kapan berakhir mengharuskan semua insan pendidikan mencari solusi kreatif dan strategis dengan menyiapkan segenap perangkat pembelajaran, strategi, metode, media, dan model pembelajaran yang bervisi pemenuhan kebutuhan dan pemeliharaan keselamatan dan keamanan bersama.
Akhirul kalam, harus diyakini bahwa sehaluan dengan “badai pasti berlalu”, pandemi juga pasti berhenti. Inna ma’a al-‘usri yusra (Kesulitan akan disusul dengan kemudahan) (QS asy-Syarh/94:5-6). Tentu saja, penghentian wabah pandemi mengharuskan kita semua “berjihad kolektif” secara mental spiritual, sosial, finansial, klinikal, dan fisikal, termasuk di dunia pendidikan. Evaluasi kritis dan konstruktif terhadap “uji coba” PTM beberapa waktu terakhir tampaknya masih menimbulkan kerawanan, terutama jika ada warga madrasah atau sekolah yang terpapar covid-19.
Karena itu, pilihan blended learning atau hybrid learning secara selang-seling, dengan prioritas utama keselamatan, keamanan, dan kesehatan semua warga; dan PTM dengan disiplin ketat terhadap protokol kesehatan agar kebutuhan dan hak-hak layanan pendidikan bagi peserta didik terpenuhi, merupakan solusi alternatif yang bijak di masa pandemi ini. Namun demikian, sistem dan manajemen blended learning ini mengharuskan institusi pendidikan meningkatkan literasi digital dan penyiapan sistem yang matang dan teruji, terutama dari tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.
Artikel ini diterbitkan di Majalah Tabligh Edisi No. 2/XX, Raja 1443 H, Februari 2022 M. (sam/mf)
Repost : https://www.uinjkt.ac.id/pembelajaran-tatap-muka-ptm-antara-keselamatan-dan-kebutuhan/
0 Komentar